Bagaimana Meng-Agile-kan TU?

Amir Syafrudin
PemerintahTangkas
Published in
3 min readFeb 10, 2023

--

Kilas balik Agile Unconference 2022. Saat itu ada 1 topik tentang penerapan Agile di sektor publik yang cukup menarik. Judulnya adalah “Bagaimana meng-Agile-kan TU (Tata Usaha)?” Topik itu dibawakan oleh Suparman, Koordinator TU Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN 31) Bekasi.

Suparman adalah seorang aparatur sipil negara (ASN). Walaupun “hanya” bekerja di unit kerja yang terbilang kecil, minatnya untuk menghasilkan nilai tambah tetap besar. Minat beliau terhadap Agile juga tinggi. Pada akhirnya, beliau ingin tahu bagaimana membuat TU menjadi Agile.

Hal yang menarik adalah pertanyaan itu berlaku untuk konteks yang lebih luas. Suparman memang bertanya soal TU, tapi pertanyaan itu adalah pertanyaan setiap orang yang ingin memulai Agile di unit kerja masing-masing. Untuk menjawab pertanyaan itu, pertama kita harus … mundur.

Sebelum masuk ke “bagaimana”, kita perlu tahu “kenapa”. Alasan untuk menjadi Agile itu harus kuat karena waktu, tenaga, dan sumber daya untuk menjadi Agile itu tidak sedikit. Menjadi Agile umumnya berarti mengubah pola pikir dan cara kerja. Hal itu tentu saja tidak mudah.

Kalau tidak ada alasan untuk menjadi Agile, jangan ambil pilihan itu. Walaupun kita yakin bahwa Agile is the way to go, berubah menjadi Agile berisiko menjadi beban kalau tidak disertai alasan yang kuat. Jadi, kita harus mulai dari “apa”, yaitu “Apakah TU perlu menjadi Agile?”

Kalau alasannya tidak kuat, jangan menyerah dulu. Coba ganti konteksnya ke organisasi induknya. Untuk TU yang dibahas Suparman, induknya adalah SMPN 31 Bekasi. Identifikasi alasannya dimulai dari “apakah SMPN 31 Bekasi perlu menjadi Agile?” Kalau tidak, coba naik lagi.

Kalau di organisasi induk atau di atasnya tidak ditemukan alasan untuk menjadi Agile, stop. Lebih baik kita arahkan sumber daya yang kita miliki ke hal lain yang lebih bernilai. Kalau alasannya valid, tentukan peran unit kerja kita dalam upaya organisasi induk untuk menjadi Agile.

Dengan fondasi yang kuat, kita lanjutkan ke pertanyaan “bagaimana”. Untuk menjawab “bagaimana” tulisan yang singkat ini tidak bisa menjawab dengan utuh. Sesi 45 menit yang dimiliki Suparman juga tidak cukup. Akan tetapi, ada hal-hal penting yang perlu ditekankan.

Struktur instansi pemerintah itu hierarkis. Cara mengelolanya cenderung command and control. Hal itu mungkin berubah di masa depan, tapi untuk saat ini, kita harus menyiasatinya. Itu artinya Suparman butuh dukungan dari atasannya atau ASN lain dengan posisi lebih tinggi.

Bergerak dari bawah tetap saja bermanfaat. Menerapkan Agile terlebih dahulu untuk membuktikan bahwa Agile itu bernilai tetap saja baik. Walaupun begitu, mencari dukungan atasan/pimpinan tetap perlu diutamakan karena hal itu kelanggengan penerapan Agile yang sudah berjalan.

Suparman juga butuh rekan seperjuangan. Orang yang mau bahu-membahu bersama Suparman untuk menghidupkan Agile di SMPN 31 Bekasi atau minimal di TU sekolah itu. Menjadi motor perubahan bukanlah pekerjaan ringan. Adanya orang untuk berbagi beban kerja itu akan sangat membantu.

Jangan lupa tugas pokok dan fungsi (tupoksi). Sebuah pekerjaan di pemerintahan dijamin akan terus berjalan bila sesuai tupoksi. Bila tidak ada di tupoksi, pekerjaan itu akan sirna dengan sendirinya. Kalau Agile dapat diakali agar masuk ke dalam tupoksi, penerapannya akan awet.

Di semesta lain, Agile terus hidup karena ada unit kerja dengan tupoksi membangun budaya Agile dalam organisasi. Unit kerja itu secara proaktif mendidik, melatih, dan membiasakan pola pikir dan cara kerja Agile di seluruh penjuru organisasi. Sayangnya itu ada di semesta berbeda.

Regulasi juga tidak kalah penting. Kalau ada dasar hukum untuk menerapkan Agile, penerapan Agile pasti akan lebih leluasa. Pimpinan akan mendukung, unit kerja atau tim khusus dapat dibentuk, upaya dari orang-orang seperti Suparman juga akan membuahkan hasil.

Sisanya adalah urusan teknis. Mulai dari menjaga terwujudnya nilai-nilai dalam Manifesto Agile dan prinsip-prinsip di belakangnya. Di sini kita dapat mengadopsi metode Agile yang ada. Bila adopsi tidak berhasil, lakukan adaptasi metode Agile sesuai kondisi tim dan organisasi.

Dan daftar pekerjaannya terus berlanjut.

Pada intinya, dukungan pimpinan, tupoksi, dan regulasi adalah hal yang krusial untuk penerapan Agile yang berkelanjutan di pemerintahan. Tanpa ketiga hal itu, Agile berisiko gagal diterapkan di dalam instansi pemerintah. Kalaupun Agile tetap ada, sifatnya akan sporadis.

Hal terakhir yang perlu ditekankan adalah “menjadi Agile” perlu dipisahkan dengan “menjadi digital”. Di pemerintahan, kedua hal itu sangat mungkin dianggap sama karena keduanya sering berdampingan. Bila kesalahpahaman itu terjadi, efeknya buruk terhadap arah penerapan Agile.

Terlepas dari itu, Pemerintah Tangkas tetap mendukung upaya yang dilakukan orang-orang seperti Suparman. Semakin banyak ASN yang menerapkan Agile, semakin besar ombak Agile yang terbentuk. Semakin besar ombak itu, semakin luas pengaruh dan dampak positif Agile di pemerintahan.

--

--

Amir Syafrudin
PemerintahTangkas

Praktisi Agile. Perintis Rinkas (Pemerintah Tangkas). Penulis buku ASN Juga Bisa Agile dan Prakom Tidak Bisa Agile.